Rabu, 21 November 2012

Free Sex, Gaya Hidup Atau Penyakit?

Kebebasan seks yang dominan disebut sikap seksual yang negatif sudah sekian lama menggerogoti moral dan nyawa masyarakat kita, yang selama hidupnya ‘katanya’ mereka (berlabel) Islam. Masyarakat seharusnya takut dengan berbagai macam penyakit psikosomatik dan penyakit rohani yang akan diderita akibat free sex ini.
Apa yang melatar belakangi free sex ini, Apa akibatnya dan bagaimana tindak lanjut seharusnya dalam mengatasi free seks ini sudah sering dibahas oleh para psikolog ini?
Kalau menurut dunia barat, memang free seks ini tidak seberapa dilarang. Malah sekarang dunia barat percaya akan keharusan menghormati dan membebaskan hawa nafsu seksual dengan jalan membuang kekangan-kekangan tradisional. Karena memang kenyataan kalau orang barat itu lebih menyukai kebebasan seksual. Mereka menyatakan bahwa moralitas apa pun yang telah mereka warisi tidaklah membawa apa-apa selain konotasi religius. Mereka mengklaim bahwa moral-moral baru zaman sekarang ini bukan hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, tetapi juga dalam alasan ilmiah.
Saat ini, apa yang sedang berkembang pesat di barat (baca: free seks), juga berkembang pesat di masyarakat kita ini. Yaitu seksual negatif baik yang tradisional maupun yang modern.
Dan kalau ‘pagar pencegah’ yakni agama dan moral tidak digunakan untuk mengantisipasi pola seksual free seks, maka masyarakat akan rusak dan berpenyakit, baik itu secara jasmani maupun rohani dan batiniah. Berbagai macam masalah pula akan timbul dibelakangnya.
Seks bebas, adalah pola perilaku seks bebas dan tanpa batasan, baik dalam bertingkah laku seksnya maupun dengan siapa dia berseks ria. Sungguh suatu perilaku yang lebih rendah daripada tingkah laku binatang. Manusia memang seperti itu. Di sini, dapat diartikan juga bahwa anjuran pembebasan seksual manusia dari kekangan moral tradisional berarti pernyataan bahwa tidak ada sesuatu pun yang jelek, buruk, ataupun hina, yang dapat timbul dari seks. Anjuran ini tidak menerima pembatasan apa pun dalam seks selain dari batas alami seperi dalam hal makan dan minum, nafsu belaka.
Barat dengan mudah menyemarakkan program seks bebasnya di bumi kita tercinta ini, karena ghirah keagamaan dalam tiap individu mudah luntur. Apalagi keyakinan agama yang menempel tadi hanya sekadar menempel secara turunan orang tua, tidak melalui pencarian dan penggunaan rasio dalam berkeyakinan. Agama dalam diri kita harus dipenuhi cahaya iman, taqwa dan ilmu. Sehingga tidak mudah luntur dan terserat ke dalam lubang hitam setan.
Di sinilah, para da’i, penulis dan pemerhati Islam harus betul-betul gigih menggunakan segala bentuk media, sarana dan fasilitas moderen maupun tradisional, untuk memerangi budaya free sex tersebut. Kegencaran propaganda seks bebas itu harus betul-betul dihadapi secara pisik, bukan hanya dalam tataran teoritis dan konsepsual belaka. Para da’i tidak hanya dituntut untuk berteriak di mimbar-mimbar Jumat, namuan juga turun ke lapangan memberikan suntikan-suntikan rohani di tengah masyarakat Islam yang tengah menghadapi godaan berat ini. Penjabaran tentang hakikat seks dan implementasinya menurut pandangan syariat, harus betul-betul dimasyarakatkan. Kalau tidak, gelombang dan arus propaganda free sex, bisa saja mengambil alih tugas mereka itu, menuju kebinasaan total.
Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai pembenaran diri. Dalam hubungan ini, Jersild (1978) menulis, “Jika remaja bercerita tentang kegiatan seksual mereka, maka mereka banyak membela diri dengan komentar “Everybody does it.”
Maka, pihak orang tua yang seharusnya pertama kali berkiprah menjadi hakim di tengah pergulatan budaya kaum muda ini.
” Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan…” (At-Tahrim : 6)
Lalu, para juru dakwah juga harus berkiprah secara khusus pada sebagian edisi dakwah mereka, untuk mengatasi ketimpangan moral di kalangan remaja ini. Apa yang difirmankan oleh Allah, “..dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” (Al-Mukminun : 5-7) harus kemudian dijabarkan melalui berbagai contoh dan pemaparan realitas dalam bahasa-bahasa aktual kaum muda. Yakni untuk membuktikan kebenaran firman Allah, bahwa mereka dengan segala kebiasaan seks bebas dan seks pra nikah itu telah melakukan hal yang sungguh-sungguh melampaui batas aturan agama, moral dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan yang fithrah.
Di bagian akhir, kaum muda sendiri yang harus bangkit memperbaiki diri, memperbaiki gaya hidup mereka. Sudah saatnya, para pemuda menjadi pemimpin masa depan, tapi terlebih dahulu, mereka harus menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Maka, bila hasrat seksual sudah tak tertahankan, satu-satunya obat yang paling mujarrab adalah menikah,
“Wahai kawula muda. Barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya. ”
Nah, bila belum mampu menikah, hadits ini mengajarkan kita untuk berpuasa. Melihat generasi muda-mudi rajin berpuasa, layaklah masyarakat merasa aman, nyaman dan tentram menjalani aktivitas keseharian mereka. Karena, tanpa brutalisme dan kenakalannya, kaum muda adalah pagar pengaman paling efektif di dalam kehidupan masyarakat kita. (Sumber: majalah-elfata.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar